Kagama Persma Bahas Peran Media Digital dan Algoritma dalam Pembentukan Opini Publik
medianews.web.id Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Komunitas Pers Mahasiswa (Kagama Persma) menggelar seminar nasional bertema “Disinformasi & Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik.”
Kegiatan ini diselenggarakan di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan menjadi bagian dari peringatan empat dekade Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM.
Seminar tersebut menghadirkan para pakar komunikasi, jurnalis senior, akademisi, dan pegiat literasi digital dari berbagai daerah.
Tujuannya adalah mengupas bagaimana teknologi algoritma media sosial dan platform berita daring berperan besar dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu sosial dan politik.
Media Digital dan Tantangan Disinformasi
Dalam paparannya, sejumlah pembicara menyoroti bagaimana media digital kini menjadi sumber informasi utama masyarakat.
Perkembangan teknologi membuat setiap orang dapat menjadi produsen informasi. Namun, kondisi ini juga memunculkan risiko serius: disinformasi dan manipulasi opini publik.
Era digital telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan berita.
Informasi kini bergerak cepat dan masif, melintasi batas ruang serta waktu.
Namun, di sisi lain, algoritma media sosial sering kali menampilkan konten berdasarkan preferensi pengguna, bukan berdasarkan akurasi.
Inilah yang disebut sebagai echo chamber, di mana seseorang hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan pribadinya.
Menurut beberapa narasumber, situasi tersebut menciptakan polarisasi sosial yang tajam.
Berita palsu atau framing berlebihan sering kali diterima sebagai kebenaran karena terus muncul dalam timeline pengguna.
Peran Algoritma dalam Pembentukan Opini Publik
Salah satu pembicara dari UGM menjelaskan bahwa algoritma bekerja layaknya kurator informasi.
Ia memilih dan menampilkan konten berdasarkan perilaku pengguna — apa yang disukai, dibagikan, dan dikomentari.
Meski terkesan netral, sistem ini sebenarnya membentuk ekosistem informasi yang bisa mengarahkan opini publik secara tidak langsung.
“Masalahnya bukan hanya berita palsu, tapi bagaimana algoritma menempatkan kita dalam gelembung informasi tertentu,” jelas salah satu panelis.
Ketika algoritma menentukan informasi yang kita lihat setiap hari, publik menjadi rentan terhadap bias digital.
Akhirnya, diskusi rasional digantikan oleh narasi emosional yang mudah menyebar.
Karena itulah, pendidikan literasi digital menjadi sangat penting.
Masyarakat perlu memahami cara kerja algoritma dan bagaimana ia bisa memengaruhi opini, perilaku politik, hingga pilihan ekonomi seseorang.
Media Independen dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam seminar tersebut, Kagama Persma juga menyoroti pentingnya keberadaan media independen sebagai penyeimbang informasi di era digital.
Media massa konvensional yang memiliki kode etik jurnalistik dinilai tetap relevan untuk menjaga akurasi dan kepercayaan publik.
Perwakilan BPPM Balairung UGM menyebut bahwa media mahasiswa memiliki peran penting sebagai ruang kritis.
Selain memproduksi berita, mereka berperan dalam membangun kesadaran publik mengenai pentingnya informasi yang faktual dan berimbang.
“Mahasiswa dan jurnalis muda harus memahami peran media bukan hanya sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai penjaga akal sehat publik,” ujar salah satu pembicara.
Kagama Persma menilai kecepatan informasi di dunia digital perlu diimbangi dengan kedalaman analisis.
Tanpa hal itu, publik hanya menjadi konsumen pasif yang mudah dipengaruhi oleh arus narasi dominan.
Refleksi 40 Tahun Balairung dan Perubahan Lanskap Media
Seminar ini juga menjadi bagian dari refleksi empat dekade perjalanan Balairung UGM, salah satu media mahasiswa tertua di Indonesia.
Sejak awal berdirinya, Balairung dikenal sebagai wadah bagi mahasiswa untuk menulis secara kritis dan independen terhadap isu sosial.
Selama perjalanannya, Balairung beradaptasi dengan perkembangan teknologi media.
Kini, mereka juga aktif di platform digital, memproduksi liputan mendalam, podcast, hingga video dokumenter.
Transformasi ini menunjukkan bahwa media mahasiswa mampu bertahan dan berinovasi di tengah perubahan lanskap jurnalistik global.
“Balairung adalah bukti bahwa tradisi berpikir kritis tidak boleh hilang di tengah arus media cepat. Kita butuh ruang yang tetap mengedepankan integritas dan kedalaman,” ujar perwakilan Kagama Persma.
Literasi Digital Sebagai Solusi
Para pembicara sepakat bahwa literasi digital menjadi kunci utama menghadapi era disinformasi.
Pendidikan publik perlu menanamkan kemampuan untuk memverifikasi informasi, memahami konteks, dan mengenali bias.
Selain itu, lembaga pendidikan diharapkan berperan aktif mengajarkan etika bermedia.
Mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum perlu dibekali pemahaman mengenai bagaimana teknologi dapat membentuk realitas sosial.
Langkah-langkah sederhana seperti memeriksa sumber berita, tidak langsung membagikan informasi, serta membaca dari berbagai perspektif dapat membantu menciptakan ruang digital yang lebih sehat.
Kolaborasi dan Harapan ke Depan
Kagama Persma berharap seminar ini menjadi awal dari kolaborasi lebih luas antara akademisi, jurnalis, dan masyarakat sipil.
Tujuannya adalah membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan informasi di dunia digital.
Melalui kerja sama lintas disiplin, diharapkan lahir berbagai riset dan program pelatihan untuk meningkatkan literasi digital nasional.
Kagama Persma juga berencana menjadikan kegiatan serupa sebagai agenda tahunan agar diskusi publik mengenai media dan demokrasi terus berlanjut.
Kesimpulan
Seminar nasional yang digelar oleh Kagama Persma UGM menunjukkan bahwa isu media digital dan algoritma bukan lagi sekadar topik teknologi, melainkan isu sosial yang nyata.
Cara publik memahami informasi kini banyak ditentukan oleh sistem yang tidak terlihat, yaitu algoritma.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak — akademisi, media, pemerintah, dan masyarakat — untuk bersama-sama menciptakan ruang digital yang inklusif dan berintegritas.
Dengan kolaborasi dan kesadaran bersama, media digital tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga sarana memperkuat demokrasi di Indonesia.

Cek Juga Artikel Dari Platform ketapangnews.web.id
