Peran Media dalam Menumbuhkan Kepedulian Iklim dan Semangat Kepahlawanan Lingkungan
medianews.web.id Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Dampaknya kini terasa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia—mulai dari suhu ekstrem, banjir, kekeringan, hingga penurunan produktivitas pangan. Di tengah situasi tersebut, media memiliki peran strategis sebagai penggerak kesadaran publik dan pendorong aksi nyata.
Konsultan komunikasi Muhammad Lauda menegaskan bahwa media dan jurnalis merupakan garda terdepan dalam membangun kepedulian iklim. Menurutnya, teori agenda setting menjelaskan bagaimana media mampu menentukan isu mana yang layak mendapat perhatian masyarakat. Dengan kata lain, media membentuk persepsi publik tentang urgensi suatu masalah.
Media Sebagai Pusat Kesadaran Kolektif
Lauda menilai, media bukan hanya sarana informasi, tetapi juga instrumen pembentuk empati sosial. “Isu iklim bukan lagi sekadar wacana lingkungan, tapi sudah menyangkut keberlangsungan hidup manusia,” ujarnya.
Ia menambahkan, tugas utama media saat ini bukan hanya memberitakan bencana alam atau laporan cuaca, tetapi menanamkan kesadaran bahwa perubahan iklim adalah tanggung jawab bersama. Berita, artikel, maupun kampanye publik yang konsisten dapat memunculkan rasa tanggung jawab masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam menjaga bumi.
Dalam konteks tersebut, peran jurnalis menjadi sangat penting. Mereka perlu memiliki kemampuan memahami konteks ilmiah dan sosial dari isu lingkungan, sehingga pemberitaan tidak berhenti pada peristiwa semata, tetapi menginspirasi perubahan perilaku.
Tanggung Jawab Sosial Media
Menurut Lauda, media memiliki tanggung jawab sosial untuk terus mengangkat isu iklim secara berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa isu perubahan iklim selalu relevan sejak 1990-an dan akan terus menjadi agenda penting dunia.
“Media harus sadar bahwa mengangkat isu lingkungan adalah bentuk tanggung jawab sosial. Ini bukan tren musiman, melainkan komitmen jangka panjang,” katanya.
Tanggung jawab sosial ini bisa diwujudkan dengan memperbanyak liputan mendalam, menghadirkan tokoh inspiratif dari komunitas lokal, serta menyoroti solusi nyata yang dapat dilakukan masyarakat. Dengan cara ini, media dapat berperan sebagai penghubung antara sains, kebijakan publik, dan kesadaran masyarakat.
Edukasi Jurnalis Jadi Kunci
Lauda menekankan pentingnya edukasi bagi para jurnalis agar mereka memahami kompleksitas isu iklim. Dalam banyak kasus, berita lingkungan hanya muncul saat terjadi bencana. Akibatnya, publik melihat isu iklim sebagai masalah sesaat, bukan sebagai ancaman sistemik yang memerlukan respons jangka panjang.
“Jurnalis perlu dibekali pengetahuan ilmiah, tetapi juga empati sosial. Dengan begitu, berita yang dihasilkan tidak hanya informatif, tapi juga menggerakkan,” ujarnya.
Edukasi ini juga harus mencakup keterampilan komunikasi visual, penulisan data, serta kemampuan menghubungkan isu lokal dengan konteks global. Media perlu menampilkan bagaimana krisis iklim berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari—seperti petani yang gagal panen, nelayan yang kehilangan tangkapan, atau kota-kota yang mengalami suhu ekstrem.
Membangun Semangat Kepahlawanan di Era Iklim
Dalam pandangan Lauda, menjadi pahlawan di era modern bukan lagi soal berperang di medan tempur, melainkan berjuang melawan krisis iklim melalui tindakan nyata dan kepedulian terhadap sesama.
“Kepahlawanan hari ini identik dengan kepedulian. Aksi sekecil apa pun punya dampak besar jika dilakukan bersama,” ujarnya.
Media, menurutnya, memiliki kekuatan untuk membentuk narasi kepahlawanan baru. Ketika media menyoroti individu atau komunitas yang berkontribusi menjaga lingkungan, mereka tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menginspirasi masyarakat untuk ikut berbuat.
Melalui cerita-cerita inspiratif tersebut, masyarakat dapat memahami bahwa perubahan dimulai dari tindakan sederhana—menanam pohon, mengurangi sampah plastik, atau berpartisipasi dalam program energi hijau.
Kampanye Global dan Mobilisasi Publik
Lauda juga menekankan pentingnya menghubungkan kampanye lokal dengan gerakan internasional. Menurutnya, mobilisasi aksi publik akan lebih efektif bila dikaitkan dengan agenda global, seperti Hari Bumi, COP Climate Summit, atau kampanye Fridays for Future yang diinisiasi oleh Greta Thunberg.
Keterlibatan media dalam mengangkat kampanye global dapat memperluas dampak kesadaran di tingkat nasional. “Krisis iklim bukan isu lokal, tapi masalah seluruh umat manusia. Semakin terhubung kita dengan gerakan dunia, semakin besar efek perubahan yang bisa diciptakan,” jelasnya.
Selain itu, media lokal dapat berperan sebagai jembatan yang mengadaptasi narasi global menjadi relevan dengan konteks masyarakat Indonesia. Misalnya, membahas solusi hijau dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan energi surya di pedesaan atau pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Krisis Iklim: Nyata dan Dekat
Sering kali, masyarakat menganggap perubahan iklim sebagai isu jauh dan abstrak. Padahal, efeknya sudah terasa di sekitar kita. Dari suhu udara yang meningkat hingga bencana alam yang makin sering terjadi, semua menandakan bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja.
“Lauda mengingatkan, krisis iklim adalah persoalan yang nyata dan dekat. Kepedulian menjadi kunci untuk menjaga masa depan bumi,” tulisnya dalam pernyataan yang juga menegaskan peran media sebagai pengingat publik.
Penutup
Media memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk kesadaran publik. Ketika media memilih untuk terus mengangkat isu iklim dengan konsisten, mereka bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi membangun budaya peduli lingkungan.
Melalui pemberitaan yang inspiratif dan berbasis solusi, media dapat menggerakkan masyarakat untuk beraksi. Dalam konteks ini, jurnalis bukan sekadar penulis berita, tetapi agen perubahan sosial yang mampu menyalakan semangat kepahlawanan di era krisis iklim.
Kepedulian terhadap bumi bukan tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab bersama. Dan dalam perjuangan panjang ini, media menjadi jantung komunikasi yang menjaga nyala kesadaran agar tidak pernah padam.

Cek Juga Artikel Dari Platform dapurkuliner.com
