KPK Sebut Indah Bekti Pratiwi Teman Dekat Dirut RSUD dr Harjono, Saksi Kunci Kasus Suap Bupati Sugiri Sancoko
medianews.web.id Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan publik setelah mengumumkan hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. Dalam kasus ini, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dugaan suap jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Namun, nama lain yang juga mencuri perhatian publik adalah Indah Bekti Pratiwi, yang disebut sebagai teman dekat Direktur RSUD dr Harjono, Yunus Mahatma.
KPK mengonfirmasi bahwa Indah Bekti Pratiwi — atau yang dikenal juga dengan nama lain Endah Pertiwi — ikut diamankan dalam operasi tersebut. Meski statusnya belum ditetapkan sebagai tersangka, perannya dianggap signifikan karena ia diduga mengetahui dan ikut terlibat dalam proses pencairan uang suap senilai Rp500 juta. Uang itu disebut merupakan bagian dari total aliran dana suap sebesar Rp1,25 miliar yang menjadi bukti utama kasus.
Peran Indah dalam Rantai Uang Suap
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Indah memiliki peran penting dalam memuluskan transaksi antara pihak pemberi dan penerima suap. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, Indah disebut membantu mengatur aliran dana dari beberapa pihak yang berkepentingan terhadap jabatan di lingkungan RSUD dr Harjono.
“Indah Bekti Pratiwi tidak hanya hadir secara kebetulan. Ia berperan dalam proses penyerahan uang yang digunakan untuk memuluskan jabatan tertentu di RSUD Ponorogo,” ujar Asep Guntur dalam konferensi pers.
Meski tidak ditetapkan sebagai tersangka, KPK menilai keterlibatan Indah cukup substansial karena sejumlah bukti elektronik dan komunikasi menunjukkan perannya dalam koordinasi antar pihak. Ia juga diduga menjadi penghubung informal antara pejabat rumah sakit dan pihak luar yang mengatur mekanisme “fee” jabatan.
Kedekatan dengan Direktur RSUD Jadi Sorotan
Dalam penyelidikan KPK, hubungan personal antara Indah dan Direktur RSUD dr Harjono, Yunus Mahatma, menjadi perhatian khusus. Keduanya disebut memiliki hubungan yang cukup dekat di luar konteks profesional. Hal ini memunculkan dugaan bahwa kedekatan tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi komunikasi dengan sejumlah pihak yang memiliki kepentingan.
Sumber internal di Ponorogo menyebutkan bahwa Indah kerap terlihat hadir di beberapa kegiatan yang dihadiri oleh Yunus Mahatma. Ia juga disebut memiliki akses istimewa terhadap beberapa ruangan dan staf di lingkungan RSUD. Namun, hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak Indah terkait hubungan pribadinya dengan Yunus.
KPK sendiri belum menegaskan apakah hubungan tersebut bersifat profesional atau memiliki unsur kepentingan pribadi. Namun, dari hasil penelusuran awal, komunikasi antara keduanya disebut cukup intens menjelang pencairan dana suap yang tengah diusut.
Aliran Uang dan Mekanisme Transaksi Jabatan
Berdasarkan temuan awal, uang suap sebesar Rp1,25 miliar diduga berasal dari pihak yang ingin mendapatkan posisi strategis di RSUD dr Harjono. Sebagian dana, senilai Rp500 juta, disebut melalui perantara yang dikoordinasikan oleh Indah.
KPK menemukan bukti transfer uang dan komunikasi digital yang menunjukkan adanya upaya pengaturan jabatan, terutama dalam posisi manajerial di rumah sakit daerah tersebut. Dalam prosesnya, uang tersebut diduga dibagi dalam beberapa tahap dan disalurkan kepada sejumlah pihak, termasuk pejabat struktural.
Tim penyidik juga sedang menelusuri apakah ada pihak lain di luar RSUD Ponorogo yang ikut menerima manfaat dari transaksi ini. “Kami masih memeriksa aliran dana dan keterlibatan pihak-pihak lain. Tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru,” kata Asep Guntur.
Bupati Sugiri Sancoko Diduga Terima Uang Suap Langsung
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sebagai tersangka utama. Ia diduga menerima sejumlah uang dari hasil jual beli jabatan di bawah lingkup pemerintah daerah yang dipimpinnya. Uang suap tersebut disinyalir diberikan untuk memuluskan promosi pejabat di RSUD dr Harjono.
KPK menyebutkan bahwa sebagian dana diterima secara langsung, sementara sebagian lainnya ditransfer melalui pihak perantara, termasuk Yunus Mahatma. Hubungan antara Bupati, Yunus, dan Indah kini menjadi fokus utama penyidik untuk mengurai pola kerja dan motivasi di balik transaksi ilegal tersebut.
Keterangan KPK dan Langkah Selanjutnya
KPK telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk pejabat rumah sakit, staf pemerintahan, dan pihak swasta yang diduga mengetahui praktik suap tersebut. Meski Indah masih berstatus saksi, KPK menegaskan statusnya bisa berubah bila ditemukan bukti tambahan yang memperkuat dugaan keterlibatannya.
“Pemeriksaan masih berjalan. Kami melihat peran Indah cukup vital karena ia memahami aliran uang dari awal hingga akhir. Namun, penetapan tersangka tetap menunggu hasil gelar perkara dan bukti yang cukup,” tambah Asep.
Selain itu, KPK juga memastikan bahwa uang hasil suap akan dilacak sepenuhnya. Dana sebesar Rp1,25 miliar akan disita untuk kepentingan pembuktian. Sementara barang bukti berupa dokumen transaksi, rekening bank, dan alat komunikasi telah diamankan oleh penyidik.
Respons Publik dan Dampak bagi Pemerintahan Daerah
Kasus ini memunculkan kehebohan besar di Ponorogo. Masyarakat menilai kasus tersebut menjadi tamparan keras bagi pemerintahan daerah yang selama ini dikenal cukup stabil. Banyak warga merasa kecewa karena praktik korupsi kembali mencoreng citra pejabat publik dan pelayanan kesehatan daerah.
Sejumlah tokoh masyarakat mendesak agar pemerintah pusat melakukan audit terhadap seluruh rumah sakit daerah yang berada di bawah pengawasan kepala daerah. Mereka khawatir praktik serupa terjadi di wilayah lain tanpa terdeteksi.
Sementara itu, pengamat politik menilai bahwa kasus ini memperlihatkan pola klasik korupsi di daerah, di mana jabatan publik dijadikan alat transaksi politik dan ekonomi. Kedekatan personal, menurut mereka, seringkali menjadi pintu masuk praktik suap dan nepotisme.
Kesimpulan: Pentingnya Transparansi dan Pengawasan Ketat
Kasus OTT yang menyeret Bupati Sugiri Sancoko dan menyeret nama Indah Bekti Pratiwi menjadi pengingat bahwa korupsi di tingkat daerah masih sangat mengakar. Keterlibatan individu non-pejabat seperti Indah menunjukkan bahwa praktik suap tidak selalu dilakukan oleh pejabat formal, tetapi juga bisa melibatkan pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasaan informal.
KPK diharapkan terus mengusut kasus ini secara tuntas agar publik mendapatkan keadilan dan transparansi. Ke depan, pemerintah daerah perlu memperkuat sistem seleksi jabatan berbasis merit serta memperketat pengawasan internal agar tidak ada lagi celah bagi oknum untuk memperdagangkan jabatan.
Kasus ini bukan hanya soal uang Rp1,25 miliar, tetapi tentang integritas pemerintahan dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Dengan ketegasan KPK dan dukungan masyarakat, diharapkan praktik korupsi serupa tidak lagi menjadi “budaya” dalam birokrasi daerah di Indonesia.

Cek Juga Artikel Dari Platform iklanjualbeli.info
