Urgensi Regulasi Media Baru: Mencegah Ketimpangan dan Kebocoran Ekonomi Digital
medianews.web.id Era digital telah mengubah lanskap media secara drastis. Kini, masyarakat lebih banyak mengonsumsi informasi dari platform digital seperti YouTube, TikTok, dan layanan streaming, dibandingkan media konvensional seperti televisi atau radio. Namun, di balik perubahan besar ini, muncul satu persoalan mendasar: ketiadaan regulasi yang jelas untuk media baru.
Anggota Komisi I DPR RI, Nico Siahaan, menyoroti hal ini sebagai ancaman serius bagi ekosistem media nasional. Menurutnya, ketiadaan aturan membuat ketimpangan antara media digital dan media konvensional semakin lebar. “Ada ketidakadilan karena yang satu diatur ketat, seperti TV dan radio, sementara yang lainnya tidak memiliki batasan yang jelas,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik bertajuk Platform Digital dan Penyiaran: Peluang atau Ancaman di Universitas Indonesia.
Ketimpangan Regulasi yang Menghambat Persaingan Sehat
Media konvensional seperti televisi dan radio telah lama tunduk pada aturan ketat, baik dari sisi konten, kepemilikan, hingga kewajiban pajak dan kontribusi terhadap negara. Sebaliknya, platform digital global beroperasi dengan kebebasan hampir tanpa batas. Mereka dapat menyiarkan konten ke jutaan pengguna di Indonesia tanpa izin penyiaran dan tanpa mekanisme pengawasan yang sama ketatnya.
Akibatnya, muncul ketimpangan kompetisi. Stasiun TV lokal harus menanggung biaya lisensi dan produksi besar, sementara platform digital asing bisa menguasai pasar tanpa tanggung jawab yang sepadan. “Ini bukan hanya soal keadilan bisnis, tapi juga kedaulatan digital,” tegas Nico.
Capital Outflow dan Hilangnya Potensi Pajak
Selain ketimpangan aturan, masalah lain yang muncul adalah kebocoran ekonomi digital atau capital outflow. Nico menjelaskan, banyak pendapatan iklan dan transaksi digital yang dilakukan di Indonesia justru mengalir ke luar negeri karena platform besar tidak memiliki entitas pajak tetap di Indonesia.
“Uang yang semestinya bisa menjadi pemasukan negara akhirnya tidak beredar di dalam negeri,” jelasnya. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda. Negara kehilangan potensi pajak besar, sementara pelaku industri lokal semakin terdesak oleh dominasi platform global.
Data dari berbagai lembaga ekonomi menunjukkan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia telah menembus ratusan miliar dolar, namun kontribusi pajaknya masih minim. Hal ini terjadi karena regulasi belum mampu menjangkau model bisnis baru seperti content creator, live streaming commerce, atau layanan berbayar daring.
Perlunya Kerangka Hukum untuk Media Baru
Melihat kondisi tersebut, Nico menegaskan pentingnya segera membentuk regulasi media baru yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Aturan ini diharapkan dapat mengatur konten digital secara proporsional, tanpa membatasi kreativitas, namun tetap memastikan keadilan dan tanggung jawab sosial.
“Negara tidak boleh kalah cepat dari perkembangan teknologi. Kalau tidak segera diatur, kita hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri,” ujarnya.
Kerangka hukum baru itu sebaiknya mengatur beberapa hal penting, seperti:
- Izin siar digital dan tanggung jawab konten.
- Kewajiban kontribusi ekonomi terhadap negara, termasuk pajak dan dana kompensasi publik.
- Perlindungan data pengguna dan etika algoritma.
- Keadilan bagi media lokal dalam mendapatkan akses distribusi dan monetisasi konten.
Dengan adanya regulasi yang jelas, pemerintah dapat menyeimbangkan antara inovasi digital dan perlindungan industri penyiaran nasional.
Peluang Kolaborasi antara Media Konvensional dan Digital
Namun, di sisi lain, Nico menekankan bahwa regulasi bukan berarti pembatasan. Justru, aturan yang jelas akan membuka peluang kolaborasi antara media konvensional dan media digital. Televisi dan radio, misalnya, bisa memperluas jangkauan melalui platform daring tanpa khawatir akan tumpang tindih aturan.
Ia mencontohkan, banyak media tradisional yang kini mulai beradaptasi dengan menghadirkan konten lintas platform. Berita televisi dapat tayang di YouTube, radio menggelar podcast, dan media cetak memperluas eksposur melalui media sosial. Namun tanpa pedoman yang jelas, kolaborasi semacam ini berisiko menimbulkan pelanggaran etika dan hak cipta.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan regulasi baru bersifat inklusif dan memberi ruang bagi inovasi.
Tantangan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Membuat regulasi hanyalah langkah awal. Tantangan yang lebih besar adalah pengawasan dan penegakan hukum. Dalam konteks digital, pelanggaran konten atau pajak sering kali melibatkan lintas negara dan sulit dijangkau oleh otoritas lokal.
Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat kerja sama internasional dan memperluas peran lembaga seperti Kominfo, KPI, dan OJK Digital. Kolaborasi lintas kementerian diperlukan agar pengaturan media baru tidak tumpang tindih, melainkan saling melengkapi.
Selain itu, pemerintah harus berinvestasi dalam teknologi pengawasan digital yang mampu mendeteksi penyebaran konten ilegal, disinformasi, dan pelanggaran pajak lintas batas.
Menuju Ekosistem Digital yang Adil dan Berkelanjutan
Perkembangan teknologi digital memang tak terelakkan, namun negara harus hadir untuk menjamin keadilan, transparansi, dan keberlanjutan industri media. Tanpa regulasi yang kuat, kedaulatan digital Indonesia bisa tergerus oleh kepentingan korporasi global yang tidak memiliki akar di negeri ini.
Regulasi media baru bukan hanya soal aturan hukum, tetapi tentang menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Dengan pengaturan yang tepat, media digital bisa tumbuh sehat berdampingan dengan media konvensional, memberi manfaat ekonomi sekaligus memperkuat karakter bangsa.
“Teknologi tidak bisa kita lawan, tapi harus kita arahkan. Dan arah itu hanya bisa tercapai jika negara punya aturan main yang adil,” pungkas Nico.

Cek Juga Artikel Dari Platform mabar.online
