OTT KPK di HSU Berujung Pelarian Pejabat Kejaksaan, Ancaman Status DPO Menguat
medianews.web.id Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Hulu Sungai Utara menjadi sorotan nasional setelah salah satu target penangkapan justru melarikan diri. Sosok yang dimaksud adalah Tri Taruna Fariadi, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara. Alih-alih mengikuti proses hukum, yang bersangkutan dilaporkan kabur saat petugas hendak mengamankan dirinya.
Situasi ini membuat OTT yang semula berjalan sesuai prosedur berubah menjadi upaya pencarian intensif. KPK menegaskan bahwa pelarian tersebut tidak menghentikan proses hukum. Status tersangka tetap melekat, dan langkah lanjutan terus disiapkan untuk memastikan pertanggungjawaban hukum tetap berjalan.
Perlawanan Saat Penangkapan Jadi Catatan Serius
Dalam keterangannya, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa Tri Taruna tidak hanya kabur, tetapi juga sempat melakukan perlawanan. Tindakan ini dipandang sebagai upaya menghalangi proses penegakan hukum, yang justru dapat memperberat posisi hukum tersangka.
KPK menyatakan bahwa pengejaran masih berlangsung. Apabila dalam waktu tertentu tersangka tidak menyerahkan diri, lembaga antirasuah membuka peluang untuk menetapkan Tri Taruna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Status ini akan memperluas ruang gerak aparat untuk melakukan penangkapan di mana pun yang bersangkutan berada.
Deretan Pejabat Kejari HSU Ikut Terseret
Kasus ini tidak berhenti pada satu nama. Dalam OTT yang sama, Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, Albertinus Parlinggoman Napitupulu, serta Kepala Seksi Intelijen Kejari HSU, Asis Budianto, turut ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya telah diamankan dan dibawa ke Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Penetapan tiga pejabat kejaksaan sekaligus sebagai tersangka memunculkan kekhawatiran publik terhadap integritas institusi penegak hukum di daerah. Kasus ini dianggap sebagai peringatan keras bahwa penyalahgunaan kewenangan bisa terjadi bahkan di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum.
Modus Pemerasan Berkedok Penegakan Hukum
KPK mengungkap bahwa para tersangka diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan terhadap sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sasaran pemerasan meliputi Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, hingga rumah sakit umum daerah.
Modus yang digunakan terbilang sistematis. Para pejabat dinas disebut ditakut-takuti dengan ancaman akan ditindaklanjuti laporan pengaduan dari lembaga swadaya masyarakat. Ancaman tersebut akan dihentikan jika sejumlah uang diserahkan. Skema ini memanfaatkan posisi dan kewenangan kejaksaan untuk menciptakan tekanan psikologis kepada para korban.
Aliran Dana dan Peran Perantara
Dalam konstruksi perkara, Albertinus disebut sebagai penerima utama dana hasil pemerasan. Total uang yang diterima mencapai ratusan juta rupiah dalam kurun waktu tertentu. Uang tersebut diterima melalui dua jalur utama, yakni melalui Tri Taruna dan Asis Budianto sebagai perantara.
Melalui Tri Taruna, Albertinus menerima dana dari Kepala Dinas Pendidikan dan Direktur RSUD setempat. Sementara melalui Asis, aliran dana berasal dari Kepala Dinas Kesehatan. Pola ini menunjukkan adanya pembagian peran yang jelas dalam praktik pemerasan tersebut, sehingga kasus ini dinilai bukan tindakan individu semata.
Rekening Gendut dan Dugaan Aliran Lama
Selain berperan sebagai perantara, Tri Taruna juga disorot karena dugaan kepemilikan rekening dengan saldo besar. Temuan KPK menunjukkan adanya aliran uang yang mencapai lebih dari satu miliar rupiah. Dana tersebut tidak hanya berasal dari perkara yang sedang ditangani, tetapi juga diduga terkait dengan transaksi pada periode sebelumnya.
Temuan ini membuka kemungkinan bahwa praktik serupa telah berlangsung cukup lama. KPK menegaskan akan menelusuri asal-usul dana tersebut untuk memastikan apakah terdapat tindak pidana lain yang belum terungkap.
Ancaman Status DPO dan Pesan Keras KPK
Dengan kaburnya Tri Taruna, opsi penetapan DPO menjadi sinyal tegas dari KPK. Langkah ini menunjukkan bahwa tidak ada toleransi bagi tersangka yang berupaya menghindari proses hukum. KPK juga mengimbau pihak terkait dan masyarakat untuk membantu memberikan informasi apabila mengetahui keberadaan yang bersangkutan.
Kasus ini sekaligus menjadi pengingat penting tentang risiko penyalahgunaan kewenangan di lembaga penegak hukum. Publik kini menanti kelanjutan proses pencarian tersangka yang kabur serta pengembangan perkara terhadap jaringan pemerasan yang telah terungkap. KPK menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini hingga ke akar, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Cek Juga Artikel Dari Platform jelajahhijau.com
